Meramu Hasil Belajar_Hari ke-5_CPP_Restu R
MERAMU HASIL BELAJAR
MODUL 1 PROGRAM CPP
MMakna dari kata ‘menuntun’
KHD menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun
segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai
anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh
atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat
memperbaiki ?laku?nya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan
kodrat anak”
Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan
peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti
biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di
lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang
ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan
sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit
jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena
perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji
jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang
gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan
dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.
Dalam proses “menuntun”, anak diberi kebebasan namun pendidik
sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan
arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’
agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar.
2. Peran menuntun sesuai sistem among
Menurut Ki Hajar
Dewantara, seorang guru semestinya mampu menjadi pamong, mendidik dengan welas
asih sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan si anak. Sistem pendidikan yang
terbaik adalah yang mampu menumbuhkan disiplin dan pemahaman mengenai
kesejatian hidup dari dalam diri siswa sendiri. Hal tersebut tidak dapat
dicapai melalui metode yang
menekankan pada perintah, paksaan, dan hukuman seperti yang umum dipakai
oleh pendidikan kolonial Belanda.
Sistem among
memberikan kesempatan seluas-luasnya pada kemandirian siswa. Peserta didik
didorong untuk mengembangkan disiplin diri yang sejati, melalui pengalaman,
pemahaman, dan upayanya sendiri. Yang terpenting adalah menjaga agar kesempatan
ini tidak membahayakan si anak atau mengancam keselamatan orang lain. Dalam
sistem among, guru memiliki tiga fungsi utama. Di depan, ia menjadi teladan
atau contoh yang baik bagi para murid. Di tengah, menjadi pendorong atau
pemberi semangat. Dan, di belakang mengamati kemajuan para murid.
Ki Hajar Dewantara
juga menekankan agar para guru mendorong murid-muridnya agar mengikuti jalur
yang benar dengan cara mengilhami dan memotivasi mereka dengan pikiran yang
tepat.
Begitu para murid
bergerak di jalur yang benar, hendaknya guru berusaha untuk mengupayakan setiap
peluang kemajuan bagi mereka tanpa banyak campur tangan. Selanjutnya para guru
tinggal mengamati kemajuan mereka. Dengan demikian, pendidikan akan
menghasilkan manusia yang merdeka, yang berkembang secara utuh dan selaras
dalam segala aspek kemanusiaannya serta mampu menghargai dan menghormati
manusia lain.
3. Makna dari “merdeka”
Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara didasarkan pada asas
kemerdekaan, memiliki arti bahwa manusia diberi kebebasan dari Tuhan yang Maha
Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap sejalan dengan aturan yang ada di
masyarakat. Maka dari hal itu, diharapkan seorang peserta didik harus memiliki
jiwa merdeka dalam artian merdeka secara lahir dan batin serta
tenaganya. Jiwa yang merdeka sangat diperlukan sepanjang zaman agar bangsa
Indonesia tidak didikte oleh negara lain. Ki Hadjar Dewantara memiliki istilah
sistem among, yakni melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik
karena akan mematikan jiwa merdeka serta mematikan kreativitasnya. Melihat berbagai hal tersebut
tentunya sesuai dengan program pendidikan yang diusung Indonesia saat ini,
yakni sebuah program kebijakan Merdeka Belajar. Merdeka
Belajar adalah program kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim.
Esensi kemerdekaan berpikir harus didahului oleh para guru sebelum
mereka mengajarkannya pada siswa-siswi. Merdeka Belajar diharapkan dapat
memperbaiki proses belajar mengajar agar dapat berdampak baik dalam aspek
kehidupan. Mulai dari aspek fisik, mental, jasmani dan rohani dalam dunia
pendidikan.
Mencegah miskonsepsi terhadap tujuan pendidikan, Ki Hajar Dewantara menjelaskan tujuan pendidikan yakni
menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun
sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, seorang pendidik hanya dapat
menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak agar
dapat memperbaiki diri. Secara sederhana bahwa tugas seorang pendidik adalah
menggali, menuntun, serta mengembangkan bakat dan minat siswa, bukan merubah
apa yang siswa minati. Dalam proses menuntun atau mengembangkan potensi diri
siswa, pendidik memberikan kebebasan kepada siswa mengeksplorasi kemampuan dengan
bimbingan dan arahan yang tepa dari pendidik agar anak tidak kehilangan arah
dan membahayakan dirinya. Proses ini akan mendorong anak menemukan
kemerdekaannya dalam belajar. Sementara kemerdekaan dalam pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara bermakna:
1.
Tidak hidup
terperintah, artinya seseorang bisa menentukan arah tujuannya sendiri atau
dapat memerintah diri sendiri.
2.
Berdiri tegak karena
kekuatan sendiri, merupakan kemandirian seseorang dalam mencapai tujuan dengan
usaha sendiri.
3.
Cakap mengatur
hidupnya dengan tertib, bahwa seseorang bisa terampil mengatur hidup sendiri
secara tertib berdasarkan nilai dan norma masyarakat.
4.
Kodrat anak tentang
bermain yang adalah sama dengan belajar
Jika kita kembalikan pada
teori belajar sederhana yang dikembangkan Ki Hadjar Dewantara dalam Bagian
Pertama: Pendidikan (1961), terlihat jelas, metode
among siswa menggunakan latihan dan permainan dalam
pembelajaran pancaindra untuk anak-anak sangatlah mencolok. Hal ini karena
pelajaran pancaindra dan permainan kanak-kanak tidak bisa dipisahkan. Dalam
kayakinan Ki Hadjar, Taman Siswa memiliki kepercayaan bahwa segala tingkah laku
dan keadaan anak-anak sudah diisi Sang Maha-among segala alat-alat yang
bersifat mendidik anak. Itulah sebabnya dalam praktik pengajarannya Ki Hadjar
memasukan unsur-unsur kebudayaan dalam permainan anak-anak. Ia percaya, permainan
tradisional memiliki manfaat melatih tabiat tertib dan teratur. Selain itu,
permainan anak-anak memiliki kedudukan sangat penting di negara RI, karena
sebagian besar permainan anak disertai nyanyian dan hal itu membuktikan adanya
musikalitas pada anak-anak. oleh karena itu, bentuk permainan di TK dapat
berupa permainan dengan nyanyian dan atau dengan lagu dan gerak berirama. Dari
alam menuju budaya Belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar selalu
mengandung nilai-nilai pendidikan, baik sisi fisik maupun psikologis.
Dalam permainan selalu ada
ruang untuk pancaindra anak berkembang secara teratur berdasarkan prinsip
tumbuh kembang anak secara alami. Selain itu, dalam permainan juga selalu
sesuai kodrat anak-anak yang selaras dengan alam sekitar sehingga spontanitas
anak juga tumbuh alami. Ki Hadjar juga berpendapat, kesenian untuk anak-anak
dapat dilakukan melalui permainan, khususnya latihan kesenian suara, tari, dan
sandiwara. Semuanya itu dasar pendidikan budi pekerti, sebagaimana Ki Hadjar
mengemukakan, "Permainan kanak-kanak adalah kesenian kanak-kanak yang
sungguh pun amat sederhana bentuk dan isinya namun memenuhi syarat-syarat etis
dan estetis, dengan semboyan: dari natur ke arah kultur".
Jika budaya sekolah
berkembang sesuai prinsip yang searah alam sekitar sebagai akibat efek proses
belajar dengan bermain, bisa dikatakan, sekolah itu sesungguhnya sedang
menyemai budi pekerti yang halus dan tertib pada diri seorang anak. Jika
kebijakan bermain bisa diterapkan para guru di sekolah, tanpa ada sedikit pun
keraguan menjalankannya apalagi ketakukan karena ujian nasional dsb,
sesungguhnya kita sedang menyemai kreativitas anak tanpa batas untuk
tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang berbudi
pekerti luhur dan berkarakter kuat.
Saatnya mengembalikan
permainan tradisional kita dalam peta belajar anak di semua level dan jenjang
pendidikan nasional. Jika tidak, pengalaman belajar anak akan kehilangan
autentifikasi orisinal. Banyak bukti dari beberapa hasil riset tentang
perkembangan mental dan kejiwaan menunjukkan secara konsisten dan kuat bahwa
pendidikan yang enggan memperkenalkan ranah permainan berlatar budaya
berpengaruh terhadap kesuksesan masa depan seorang anak. Dalam laporan Center
on the Developing Child (2007) ditunjukkan secara khusus, efek permainan dalam
pendidikan yang benar dapat meningkatkan kapasitas arsitektur otak anak, yakni
pada saatnya otak itu memberi pengaruh baik dalam membentuk perilaku sosial dan
emosi anak yang cerdas.
5.
Pendidikan yang
berpihak / menghamba pada anak
Pendidikan yang menghamba pada
anak menekankan pada minat, kebutuhan dan kemampuan individu,
menghadirkan model dan metode belajar yang menggali motivasi untuk
membangun habit anak menjadi pembelajar sejati, selalu ingin
tahu terhadap informasi dan pengetahuan, suka dan senang membaca. Pembelajaran
yang seperti ini sekaligus dapat mengembangkan kualitas sumber daya manusia
yang dibutuhkan di era mendatang seperti kreativitas, inovatif, kepemimpinan,
rasa percaya diri, kemandirian, kedisiplinan, kekritisan dalam berpikir, daya
nalar yang tinggi, kemampuan berkomunikasi dan bekerja dalam tim, serta wawasan
global untuk dapat selalu beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan.
Namun, sampai dengan saat ini
pendidikan yang dicita-citakan Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar
Dewantara, belum sepenuhnya terlaksana karena beberapa faktor. Salah satunya
berkaitan dengan persoalan administratif yang mengakibatkan pendidik
terbelenggu dalam suatu sistem yang kaku. Padahal pendidikan yang memanusiakan
dan memerdekakan adalah pendidikan yang berpihak dan berhamba pada anak didik
dengan tujuan untuk memaksimalkan potensi minat dan bakat yang dimiliki setiap
anak. Guru tidak lagi berperan sebagai
sumber utama dalam pengetahuan, melainkan pendidik
seharusnya berperan sebagai fasilitator yang mendampingi proses pembelajaran
dan meyalani kebutuhan anak didik dengan memenuhi hal yang bisa membuat anak
didik tersebut berkembang secara optimal salah satunya adalah membuat suasana
nyaman untuk belajar. Sebab jika anak didik sudah nyaman maka akan memiliki
perasaan yang senang dan jika sudah senang maka apapun yang diberikan untuk
memaksimalkan potensinya akan tercapai.
Oleh karenanya, pendidikan yang
memanusiakan dan memerdekakan memiliki esensi bahwa setiap anak didik memiliki
keunikan masing-masing dan seharusnya belajar sesuai dengan kesenangan mereka.
Tidak harus didikte dengan kurikulum, sistem, dan aneka mata pelajaran yang
dipaksakan kepada anak didik seperti di ruang kelas konvensional pada umumnya
dengan mengeksploitasi anak secara berlebihan. Sudah semestinya anak didik
diberi ruang kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengeskplorasi potensi diri
serta berekspresi secara kreatif serta didukung penuh oleh guru sebagai
fasilitator yang melayani dan menuntun proses pengekspresian potensi-potensi
anak didik agar terarah positif dan anak didik kita memukan jalannya sendiri
menuju versi terbaik dari dirinya.
6.
Konsep budi
pekerti
Konsep pendidikan dan pengajaran yang
diusung oleh Ki Hajar Dewantara (KHD) sangat maju karena memerdekakan kehidupan
manusia. Artinya, pendidikan memberikan kesempatan seluas-luasnya pada manusia
untuk menjadi manusia yang utuh. Jiwa dan raga, lahir dan batin. Dalam konsep
KHD hal ini disebut budi pekerti.
Budi adalah ranah batin yang meliputi
tri sakti yaitu pikiran, rasa, dan kemauan. Kita lebih sering
mendengarnya sebagai cipta, rasa, dan karsa. Pekerti adalah ranah lahir yang
mewujud tenaga. Dengan kata lain, budi pekerti merupakan hasil dari bersatunya
gerak pikiran, perasaan, dan kemauan (budi) sehingga menimbulkan tenaga
(pekerti). Sementara itu, pengajaran adalah bagian dari pendidikan dengan cara
memberi ilmu atau pengetahuan agar bermanfaat bagi
kehidupan lahir dan batin. Kalau kita gambar dalam sebuah
diagram, pengajaran merupakan bagian dari pendidikan. Hasil pendidikan inilah
yang membentuk kebudayaan.
7.
Anak bukan
tabularasa
belajar bukanlah proses
memasukkan pengetahuan ke dalam diri anak. Belajar adalah proses membentuk
pengetahuan, mengkonstruksikan pemahaman. Ki Hajar Dewantara sering menggunakan
metafor tumbuhan untuk melukiskan proses belajar yang dialami seorang anak.
Belajar bukan menanamkan pengetahuan, tapi menumbuhkan potensi anak. Pendidik
tidak bisa mengubah kodrat anak, pendidik hanya mengarahkan tumbunya kodrat tersebut.
Teori tabula rasa dikenal
sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa seorang anak adalah kertas kosong,
tanpa coretan sama sekali, dan orang-orang di sekitarnya turut andil dalam
memberikan coretan guna membentuknya menjadi bertulisan. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang sesungguhnya adalah “Anak bukan
kertas kosong yang bisa digambar sesuai keinginan orang dewasa”.
Seorang anak lahir dengan kekuatan kodrat yang masih
samar-samar. Tujuan Pendidikan adalah menuntun
(memfasilitasi/membantu) anak tersebut untuk menebalkan garis
samar-samar agar dapat memperbaiki lakunya
untuk menjadi manusia seutuhnya. (KHD, 1936,
Dasar-Dasar Pendidikan).
8.
Analogi petani untuk
menjelaskan kodrat anak
Pandangan Ki Hadjar Dewantara mengenai padi
diibaratkan olehnya seperti anak (murid) dalam melaksanakan pendidikan. Ibarat
petani sebagai guru yang menyebarkan benih atau bibit padi, tidak bisa
memaksakan tanaman padi menjadi tanaman lainnya. Hal tersebut juga dimaksudkan
kepada anak-anak yang sudah mempunyai minat dan bakatnya masing-masing, tidak
bisa dipaksa untuk menjadi apa yang diinginkan oleh guru atau orang tua untuk
tujuan tertentu.
- Pemahaman tentang Pendidikan
yang Memerdekakan menurut pemikir - pemikir yang selaras dengan pemikiran
KHD dan menjadi acuannya (Metode Montessori dan Taman Anak Frobel)
Metode montessori adalah cara belajar yang
berfokus pada kearifan anak.metode ini menawarkan pembelajaran langsung dengan
praktikdan permainan kolaboratif,berbeda dari metode tradisional cenderung
pasif.Pada kelas montessori anak-anak akan di berikan kesempatan untuk
memutuskan apa yang mejadi mereka. Thenik belajar ala montessori kini banyak
berkembang,metode montessori adalah sebuah sistem pendidikan yang membantu
setiap anak meraih potensinya disemua bidang kehidupan. Metode montessori
mengajarkan 5 bidang utama,mulai kemampuan berbahas,konsep matematika,budaya
sensorik dan kemampuan sehari-hari.Metode montesseri akan membuat anak di latih
untuk berkomunikasi. Da;am pembelajaran monttesori anak-anak diajarkn untuk
mengantri sikap sopan santun,tata krama dan kebaikan,kemampuan ini akan melatih
emosional intellagent mereka sehingga mereka akan lebih siap berada
dilingkungan dan bersosialisasi.
Pendidikan yang di laksanakan saat ini selaras
dengan apa yang diharapkan oleh KI Hajar Dewantara, di mana metode Montesori,
Frobel dan Taman anak menyatakan bahwa dunia anak identik dengan bermain, dan
di dalam bermain itu sesungguhnya seorang anak sedang belajar. di dalam bermain
telah melatih kemampuan seorang anak baik kemampuan panca indra maupun
kemampuan psikomotoriknya. hal inilah yang harus dipahami oleh seorang guru.
- Kaitan filosofi dan prinsip
pendidikan yang memerdekakan dengan tujuan pendidikan untuk membentuk
profil Pelajar Pancasila
Pemikiran filosofis Ki Hadjar Dewantara dinilai masih
relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan saat ini. Ki Hadjar Dewantara
menegaskan bahwa tujuan dari pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang
ada pada anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggitingginya
baik
sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Ki Hadjar Dewantara juga
mengemukakan bahwa dalam proses menuntun, anak perlu diberikan kebebasan dalam
belajar serta berpikir, dituntun oleh para pendidik agar anak tidak kehilangan
arah serta membahayakan dirinya. Semangat agar anak bisa bebas belajar,
berpikir, agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Profil Pelajar Pancasila ini dicetuskan sebagai pedoman untuk
pendidikan Indonesia. Tidak hanya untuk kebijakan pendidikan di tingkat
nasional saja, akan tetapi diharapkan juga menjadi pegangan untuk para
pendidik, dalam membangun karakter anak di ruang belajar yang lebih kecil.
Pelajar Pancasila disini berarti pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan
memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila. Pelajar yang memiliki profil
ini adalah pelajar yang terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya. Dimensi ini
adalah:Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
Mandiri;Bergotong-royong; Berkebinekaan global; Bernalar kritis; Kreatif.
Keenam dimensi ini perlu dilihat sebagai satu buah kesatuan yang tidak
terpisahkan. Apabila satu dimensi ditiadakan, maka profil ini akan menjadi
tidak bermakna

Komentar
Posting Komentar